top of page

I'm a paragraph. Click here to add your own text and edit me. I’m a great place for you to tell a story and let your users know a little more about you.

.

Indonesian Dance Festival:

Upaya Memproduksi Karya dan Wacana Tari Indonesia

 

           

            Tahun 2014 ini, Indonesian Dance Festival(IDF) memasuki usia 22 tahun, dan 12 kali penyelenggaraannya. Menilik ulang sejarahnya, festival yang didirikan pada 1992 ini bertujuan mengisi kekosongan festival tari yang berfungsi sebagai ajang regenerasi insan tari Indonesia. Hingga kini, IDF adalah satu-satunya festival tari terkemuka di Indonesia yang secara konsisten menjalankan program-programnya.

            Imajinasi tentang sebuah festival atau kegiatan bertaraf nasional yang menjadi ajang penempaan para koreografer muda Indonesia sesungguhnya berhutang pada program Festival Penata Tari Muda yang kemudian bernama Pekan Penata Tari Mudayang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dari tahun 1978 sampai 1985. Tercatat, ajang ini telah melahirkan koreografer-koreografer handal Indonesia seperti Gusmiati Suid, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo, Wiwiek Sipala, Wiwiek Widiastuti, dan Ben Suharto.

            Hilangnya program ini di awal era 1990-an menimbulkan keprihatinanbeberapa tokoh dan akademisi tari terkemuka Indonesia, khususnya mereka yang bernaung di bawah Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada saat yang sama,Sal Murgiyanto kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan studi pengkajian tari di Amerika Serikat. Maria Darmaningsih sebagai sekretaris jurusan Tari IKJ mendorong Sal Murgiyanto untuk menyusun suatu festival tari yang mampu merangkum perkembangan kreatif para koreografer penting, khususnya koreografer muda Indonesia.

Pada tahun 1992, bersama-sama Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti dan Melina Surjadewi, Sal Murgiyanto merintis IDF. Prakarsa tersebut didukung oleh Farida Oetoyo (yang saat itu menjabat ketua Gedung Kesenian Jakarta), Sardono W Kusumo, Tom Ibnur, Julianti Parani, Deddy Luthan, dan Edi Sedyawati. Penamaan Indonesian Dance Festival sedikit banyak terinspirasi oleh American Dance Festival (ADF) yang pernah dihadiri oleh Sal Murgiyanto, di mana ia turut terlibat mengirim dan mempresentasikan karya seniman tari Indonesia ke ajang tersebut.

            IDF pada mulanya merupakan salah satu bentuk kegiatan pengabdian masyarakat dari IKJ. Hingga kini festival ini masih bernaung di bawah bendera Fakultas Seni Pertunjukan (FSP), IKJ. Sejak awal penyelengaraannnya, IDF telah membangun kerja sama dengan berbagai pihak,antara lain Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), PKJ TIM, The National Institute of The Arts Taipei, Asian Cultural Council dan American Dance Festival di Durham, North Carolina.

            Pada perhelatannya yang pertama (1992), IDF hanya mengundang beberapa koreografer dari Indonesia, di antaranya Indra Utama, Arief Rofiq, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo, dan Sukarji Sriman. Namun pada perhelatannya yang kedua (1993), IDF juga mementaskan karya para koreografer mancanegara,dan hal ini berlangsung hingga sekarang. Edisi IDF yang kedua tersebut menjadi penting karena menandai programbaru yaitushowcase, program yang dirancang untuk menampung bibit-bibit berbakat para koreografer muda Indonesia.Program showcase inilah sesungguhnya roh dari IDF. Ia merupakan ajang bagi koreografer muda Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya, sekaligus ‘mendewasakan’ dirinya serta memperluas pergaulan dunia tari mereka. Selain memberi tempat untuk para koreografer muda, IDF juga menghidupkan sebuah tradisi yang sudah ada sejak Pekan Penata Tari Muda, yaitu acara diskusi sebagai ajang penggodokan gagasan, kritik, dan juga tempat berbagi pengalaman sesama pelaku tari Indonesia dan mancanegara.

            Selama tiga tahun pertama, IDF dilaksanakan setiap tahun (1992, 1993, dan 1994). Namun kegiatan itu dianggap terlalu cepat jika diadakan setahun sekali. Maka semenjak 1994, IDF diadakan setiap dua tahun sekali. Perkembangan politik Indonesia juga mempengaruhi perhelatan festival ini. IDF keempat (1996) sempat terganggu oleh demonstrasi politik oleh PDI di Cikini, Jakarta. IDF kelima,yang seharusnya diadakan pada tahun 1998, terhadang peristiwa Reformasi sehingga ditunda hingga tahun berikutnya (1999). Pendanaan selalu menjadi tantangan. Namun, sejak tahun 2012, di bawah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, IDF dijadikan agenda tetap kegiatan Pemda DKI Jakarta.

            Dalam kurun 1992 hingga 2004, IDF dipimpin oleh Sal Murgiyanto. Tahun 2004 adalah masa peralihan. Maka pada perhelatan tahun itu, Nungki Kusumastuti menjabat sebagai Direktur Eksekutif. Selanjutnya,Nungki Kusumastuti menjabat Direktur IDFsejak 2006-2008. Kini, Direktur IDF adalah Maria Darmaningsih (2008-sekarang). IDF telah berhasil menampilkan karya-karya signifikan para koreografer Indonesia baik yang sudah mapan maupun yang sedang berkembang, juga mementaskan karya-karya koreografer dari berbagai penjuru dunia. Dari Indonesia, antara lain karya Retno Maruti, Gusmiati Suid, Sardono W. Kusumo, I Ketut Rina, Sukarji Sriman, Martinus Miroto, Mugiyono Kasido, Eko Supriyanto, Boi G. Sakti, Hartati, Benny Krisnawardi, Ery Mefri, dan Jecko Siompo. Sementara dari mancanegara tersebutKu Ming-Shen (Taiwan), Min Tanaka (Jepang), Takiko Iwabuchi (Jepang), Cezerine Barry (Australia),Wen Hui (PR China), Susanna Leinonen (Finlandia), Janis Brenner, Yin Mei Critchell (Amerika Serikat), Arco Renz (Belgia/Jerman), Meg Stuart (Jerman), Vincent Mantsoe (Afrika Selatan/Prancis),Kim Jae Duk (Korea Selatan), Jerôme Bél (Perancis), dan banyak lagi. Juga dihadiri para pengamat, peneliti dan kritikus tari internasional di antaranya, Jochen Smith (Jerman), Judy van Zyle, Adrienne L. Kaeppler (Smithsonian Institution), George Kochi, dan lain-lain.Sejak 2006, IDF juga melibatkan kurator internasional sebagai anggota artistic board, yaitu Tang Fu Kuen dari Singapura (sejak 2006) dan Daisuke Muto dari Jepang (sejak 2008).

           Dimulai dari lingkungan akademis Institut Kesenian Jakarta, IDF pun mengembangkan visi festival yang berpijak pada konteks pengalaman tari Indonesia yang hidup dalam kisaran dan pertemuan dari berbagai akar budaya yang sangat beragam.IDF memang diciptakan sebagai wahana pertemuan kreatif berbasis pengalaman lintas budaya sebagai proses pembelajaran bagi semua orang untuk menjelajahi dan menyelami keragaman kultural yang ada melalui koreografi sebagai sebuah bahasa.

Secara khusus, proses pembelajaran itu diarahkan pada pengembangan pendidikan seni tari yang bertolak dari berbagai konteks tadi, baik yang tradisional, modern maupun kontemporer melalui program-program pertukaran antar sesama seniman tari Indonesia dan mancanegara berupa kolaborasi, workshop, presentasi (pementasan), seminar dan master class. Program-program itu dirancang sebagai ajang memperkenalkan karya para koreografer muda sekaligus ruang mediasi antara karya-karya koreografi dengan masyarakat luas Indonesia.

            Awalnya, IDF adalah perayaan ragam karya koreografi sebagai wahana untuk membuka diri terhadap segala perbedaan identitas sebagai sumberterciptanyaberbagai kemungkinan dialog atau bentuk-bentuk kolaborasi guna mendorong kreativitas kepenarian dan koreografik seniman tari Indonesia. Sebagai festival yang berpijak pada pengembangan pendidikan tari, IDF juga berusaha tanggap terhadap kebutuhan praktik di dunia tari kontemporer, diantaranya memediasi beragam lokalitas tari Indonesia dengan perkembangan di ranah global. menghubungkan pengalaman yang lokal dan global.

            Tahun ini, IDFberbenah diri dan merefleksi ulang perjalanannya yang terwujud dalam program kuratorialnya. Jika selama ini panggung IDF didominasi oleh karya-karya yang sudah pernah dipentaskan, tahun ini IDF ditandai oleh kombinasi karya baru para koreograer Indonesia (premiere), karya koreografer mancanegara yang secara artistik dianggap memiliki terobosandengan beberapa karya koreografik baru, diantaranya dua karya yang diproduksi atau di ko-produksi oleh IDF sendiri. Mengambil posisi sebagai 'produser' secara sadar adalah terobosan baru. Produser di sini bukan sekadar sebagai produser karya tari, tapi juga produser wacana - melalui mana intervensi kritis terhadap praktik tari kontemporer dilakukan. Tahun ini, IDF akan dibuka oleh sebuah produksi baru atas tafsir ulang Roro Mendut, hasil kolaborasi koreografer Retno Maruti dan perupa Nindityo Adipurnomo, dan ditutup oleh Kris Is, kolaborasi koreografer Arco Renz dari kelompok tari Kobalt Works (Brussel), Melanie Lane, Ali Sukri - koreografer yang juga dosen tari - dengan enam penari muda mahasiswa/lulusan ISI Padangpanjang. Untuk Kris Is, IDF bekerja sama dengan Kobalt Works dan Komunitas Salihara dalam bingkai ko-produksi. 

Indonesian Dance Festival:

An Attempt to Produce Indonesian Dance Works and Discourse

 

 

          This year in 2014 the Indonesian Dance Festival is 22 years old and has been held12 times. Revisiting the history, the festival that was started in 1992 was trying to fill the absence of a dance festival, which helped the regeneration of the dance workforce in Indonesia. Up to now, IDF is the only prominent dance festival in Indonesia that consistently runs its programs.

          The idea of a festival or national event that serves as a learning place for young Indonesian choreographers was based on the Festival Penata Tari Muda (Young Choreographers Festival) program, which later on was changed into PekanPenataTariMuda (Young Choreographers Week), held by Jakarta Art Council since 1978 until 1985. Notably, this event had produced Indonesian leading choreographers such as Gusmiati Suid, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo, Wiwiek Sipala, Wiwiek Widiastuti and Ben Suharto.

          The discontinuation of this program in the early 1990s had raised some concerns from prominent dance figures and academics in Indonesia, especially those who were under the Jakarta Art Institute (IKJ) at the time. During this time, Sal Murgiyanto returned to Jakarta after he finished his dance study in America. Maria Darmaningsih as the then secretary of IKJ’s Dance Department, urged Sal Murgiyanto to arrange a dance festival that would be able to summarize the creative development of important choreographers, especially young Indonesians.

In 1992, Sal Murgiyanto, along with Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti and Melina Surjadewi, started the Indonesian Dance Festival. This effort was supported by Farida Oetoyo (who at the time was the chairperson of GedungKesenianJakarta or the Jakarta Playhouse), Sardono W Kusumo, Tom Ibnur, JuliantiParani, DeddyLuthan and Edi Sedyawati. The name of the festival was more or less inspired by the American Dance Festival (ADF), in which Sal Murgiyantoparticipated by sending and presenting Indonesian dance artists.

          IDF originally was a form of IKJ’s community service.Now the festival is still held under the Performing Arts Faculty of IKJ. Since its inception, IDF has established cooperation with various parties includingGedungKesenianJakarta (GKJ), PKJ TIM, The National Institute of The Arts Taipei, Asian Cultural Council and the American Dance Festival in Durham, North Carolina.

          On its initial edition(1992), IDF only inviteda few Indonesian choreographers, which included IndraUtama, AriefRofiq, Tom Ibnur, DeddyLuthan, Ida WibowoandSukarjiSriman. However, on its second occasion (1993), IDF presented some works of international choreographers, asthis has been maintained up to now. The second edition of IDF became crucial because it introduced a new program, the showcase, which isa program designed to accommodate talented young Indonesian choreographers. The showcase program is the true spirit of IDF. It is an event for young Indonesian choreographers to exhibit their skills, and also to mature and expand their dance world. Other than providing space for young choreographers, IDF also brought back a tradition that was started in PekanPenataTariMuda, which was a discussion forum as a way to formulate ideas, critic and share experience between Indonesian and international dance workers.

          In the first three years, IDF was held annually (1992, 1993 and 1994). However it was considered too soon if it was done once a year. Thus, since 1994, IDF was held biannually. The political developments in Indonesia also affected the festival. The fourth IDF in 1996 was momentarily interrupted by the political demonstration by PDI (the Indonesian Democratic Party) in Cikini, Jakarta. The fifth IDF, which was supposedly held in 1998, was stopped by the Reformation political movement, so it was postponed until the following year (1999). Funding has been always a challenge. However, since 2012, under the instruction of the then Jakarta governor FauziBoro, IDF was included in the regular agenda of the Jakarta provincial government.

          In the span of 1992 until 2002, IDF was chaired by Sal Murgiyanto, and then followed by Nungki Kusumastuti (2004-2008), and now, Maria Darmaningsih (2010-present). IDF has succeeded in presenting significant works from both established Indonesian choreographers and developing ones, and also presenting various works from international choreographers. From Indonesia, IDF has shown the works of, among others, Retno Maruti, Gusmiati Suid, Sardono W. Kusumo, I Ketut Rina, Sukarji Sriman, Martinus Miroto, Mugiyono Kasido, Eko Supriyanto, Boi G. Sakti, Hartati, Benny Krisnawardi, EryMefri and Jecko Siompo. Meanwhile, international artists who have performed in IDF are Ku Ming-Shen (Taiwan), Min Tanaka (Japan), Takiko Iwabuchi (Japan), Cezerine Barry (Australia), Wen Hui (PR of China), Susanna Leinonen (Finland), Janis Brenner, Yin Mei Critchell (USA), Arco Renz (Belgium/Germany), Meg Stuart (Germany), Vincent Mantsoe (South Africa/France), Kim Jae Duk (South Korea),JerômeBél (France) and many more. This festival has also been viewed by international dance observers, researchers and critics such as, among others, Jochen Smith (Germany), Judy van Zyle, Adrienne L. Kaeppler (Smithsonian Institution) and George Kochi (Asian Cultural Council Japan). Since 2006, IDF has also involved international curators—as members of the artistic board—Tang Fu Kuen from Singapore (since 2006) and Daisuke Muto from Japan (since 2008).

          Starting from the academic environment of the Jakarta Art Institute, IDF has developed a vision of a festival that finds its root in Indonesian dancing experience that lives in the range of and the meeting point of various cultural backgrounds. IDF was created as a creative meeting point that was based on intercultural experience as a learning process for everyone involved to explore and dive into the cultural diversity presented through the language of the dance: the choreography.

Specifically, the learning process is directed towards the development of dance education that is based on those various contexts; the traditional, modern and contemporary through exchange programs between the Indonesian and international dance artists in forms of workshops, presentations (performances), seminars and master classes. These programs were designed as a way to introduce young choreographers’ works and also mediation space between choreographies and Indonesian society.

          Initially, IDF was a celebration of various choreographies as a way to open the self towards differences in identities. This helped in creating dialogues and collaborations to support creativity in dancing and choreography of Indonesian dance artists. As a festival that is based on the development of dance education, IDF is also trying to address the practical needs in the world of contemporary dance, which includes mediating the locality of various Indonesian danceswith the development in the global scene, by connecting local experience to global scene.

          This year, IDF is resettling and reflecting its journey, shown in the festival’s curatorial program. If previous IDF editions has been dominated by works that have been shown before, this year IDF is marked by a combination of new works from Indonesian choreographers (premieres), international choreographers that are artistically considered as breakthrough works and new choreographies; two works are produced or co-produced by IDF. Working as the producer is a breakthrough. It is not only the producer of a dance piece, but also of discourse—through which critical intervention towards contemporary dance practices is exercised. This year, IDF will be opened by a new production of a reinterpretation of Roro Mendut—a collaboration work between Retno Maruti and visual artist Nindityo Adipurnomo, and will be closed by Kris Is—a collaboration work between Arco Renz from Kobalt Works dance company (Brussel), Melanie Lane, Ali Sukri(choreographer and dance lecturer) and six young dancers (students/graduates) from ISI Padangpanjang. For Kris Is, IDF is the co-producer, together with Kobalt Works and KomunitasSalihara.

 

bottom of page